Senin, 19 Juli 2010

Pacu jalur sebagai perekat kebersamaan

DARI masa ke masa, tradisi pacu jalur Batang Kuantan senantiasa mendapat perhatian yang luar biasa dari segenap masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau dan sekitarnya.
Ihwalnya, pada zaman penjajahan pemerintah kolonial Belanda atau sekitar 104 tahun silam, tradisi ini sudah menjadi event kolosal bagi masyarakat dalam menyambut musim panen. Rasa gembira atas kerberhasilan dalam bercocok tanam tersebut mereka apresiasikan ke dalam event lomba adu cepat mengarungi derasnya arus Sungai Kuantan dengan menggunakan jalur (sampan).
Pacu jalur merupakan sebuah produk seni masyarakat Kuantan yang lahir dan berasal dari sebuah perpaduan unsur seni ukir, musik, tari, olahraga. Tak kalah pentingnya ialah semangat kebersamaan.
Di sisi lain, pacu jalur oleh masyarakat Kuansing juga diyakini memiliki kekuatan magis dan spiritual. Menariknya lagi, ada sebuah kebiasaan turun-temurun saat gelaran pacu jalur berlangsung.
Ribuan masyarakat Kuansing yang merantau ke luar daerah menyempatkan diri hadir untuk menyaksikan rangkaian helat ini. Tidak itu saja, warga asli yang datang saat pacu jalur lebih banyak daripada warga yang pulang saat Lebaran.
Seiring bergulirnya waktu, pacu jalur tradisional Kuansing telah menjadi event pariwisata nasional juga menjadi event wisata unggulan bagi Pemprov Riau.
Pacu Jalur-Long Boat Race, Parade Budaya Anak Negeri dan Randai Kuantan itu digelar setiap 25-28 Agustus, di Tepian Narosa.

Rata-rata pengunjung yang menyaksikan pesta rakyat tersebut mencapai 200 ribu orang per harinya. Dalam lima tahun terakhir, peserta dalam ajang ini tidak hanya dari luar daerah Kuansing seperti Jambi dan Sumatra Barat. Tim dari Malaysia, Brunei, dan Singapura juga turut berlaga. Setiap jalur didayung oleh sekitar 40-60 orang.
Biasanya gelaran pesta rakyat ini dikemas dalam satu paket rangkaian kegiatan. Di antaranya maelo jalur, pacu jalur tradisional, pacu jalur mini yang dilanjutkan dengan wisata Sungai Batang Kuantan dengan menggunakan perahu begand-uang, perahu kajang, perahu berando. dan perahu gulang-gulang.
Tokoh masyarakat Kuansing Harmonise mengatakan setiap jalur-sampan memiliki prosesi ritualisme sebelum dipahat dalam bentuk seni ukir tradisional yang unik. Pengerjaan untuk sebuah jalur bagi satu kaum (kampung) di Kuansing dilakukan secara kolosaJ dengan penuh semangat. (BY/M-3)

Sejak beberapa tahun, pacu jalur telah masuk kedalam kalender pariwisata nasional di Riau yang diadakan oleh masyarakat Kuansing. Tidak hanya Pemkab Kuansing, Pemprov Riau juga merasa sangat bertanggung jawab untuk melestarikan budaya rakyat yang amat luhur sejak ratusan tahun tersebut.

Pembukaan kegiatan budaya pacu jalur yang digelar masyarakat Kuantan Singingi berlangsung cukup meriah. Ribuan masyarakat tumpah rumah memenuhi tribun dan tepian Narosa, Telukkuantan.

Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional khas daerah Kuantan Singingi (Kuansing) yang hingga sekarang masih ada dan berkembang di Propinsi Riau. Lomba dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan yang oleh masyarakat sekitar juga sering disebut jalur. Upacara adat khas daerah Kuansing ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Panjang perahu/jalur yang digunakan dalam lomba ini berkisar antara 25—40 meter dengan jumlah atlet 40—60 orang tiap perahu. Biasanya, festival ini diikuti oleh ratusan perahu dan melibatkan beribu-ribu atlet dayung, serta dikunjungi oleh ratusan ribu penonton baik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Konon, kegiatan lomba dayung ini merupakan warisan budaya masyarakat Kuantan Singingi yang telah berlangsung sejak tahun 1900-an. Perahu atau jalur, dahulu, sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil bumi atau pun hasil hutan. Kebiasaan menggunakan perahu inilah yang mungkin merupakan cikal bakal kegiatan Pacu Jalur. Pada zaman penjajahan Belanda, Pacu Jalur juga dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk memeringati serta memeriahkan hari ulang tahun ratu mereka yang bernama Ratu Wilhelmina. Namun, semenjak Indonesia merdeka, Pacu Jalur berangsur-angsur dijadikan upacara khas untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada awalnya, kegiatan Pacu Jalur hanya diikuti oleh segelintir masyarakat di sekitar daerah Kuantan Singingi. Namun, dalam perkembangannya, kegiatan ini banyak mendapat perhatian dan simpati dari berbagai kawasan, terutama daerah-daerah kawasan Riau dan sekitarnya serta mancanegara. Oleh karena itu, saat ini festival Pacu Jalur tidak hanya milik masyarakat Kuantan Singingi saja, melainkan telah menjadi pesta rakyat milik masyarakat Riau dan kawasan sekitarnya. Festival yang bernuasa tradisional ini telah ditetapkan masuk ke dalam Kalender Pariwisata Nasional (Major Event).
Kegiatan Pacu Jalur merupakan pesta rakyat yang terbilang sangat meriah. Bagi para wisatawan yang berkunjung ke acara ini dapat menyaksikan kemeriahan festival yang merupakan hasil karya masyarakat Kuantan Singingi ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pacu Jalur merupakan puncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala keringat yang mereka keluarkan untuk mencari penghidupan selama setahun. Pendeknya, Pacu Jalur selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Masyarakat Kuantan Singingi dan sekitarnya tumpah ruah menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu ini. Karena meriahnya acara ini, konon beredar cerita, bahwa sepasang suami istri harus rela bercerai jika salah satu pasangannya dilarang mendatangi acara tersebut.
Selain sebagai event olahraga yang banyak menyedot perhatian masyarakat, festival Pacu Jalur juga mempunyai daya tarik magis tersendiri. Festival Pacu Jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu. Keyakinan magis ini dapat dilihat dari keseluruhan acara ini, yakni dari persiapan pemilihan kayu, pembuatan perahu, penarikan perahu, hingga acara perlombaan dimulai, yang selalu diiringi oleh ritual-ritual magis. Pacu Jalur dengan demikian merupakan adu/unjuk kekuatan spiritual antar-dukun jalur. Selain perlombaan, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan pementasan kesenian tradisional lainnya dari kabupaten/kota di Riau.

Para wisatawan yang berkunjung ke festival ini juga dapat mengunjungi obyek-obyek wisata lainnya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi penyelenggaraan acara ini, seperti Air Terjun Tujuh Tingkat Batang Koban di Desa Lubuk Ambacang, dan Desa Wisata Sentajo yang menyimpan warisan rumat adat tradisional zaman dahulu.
Pacu Jalur diselenggarakan di pinggir Sungai Kuantan (Teluk Kuantan) yang juga terkenal dengan nama Tepian Narosa di Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau, Indonesia. Lokasi Pacu Jalur yang berada di Tepian Narosa berjarak kira-kira 150 km dari Kota Pekanbaru ke arah selatan.
Dengan menggunakan kendaraan pribadi roda empat, para wisatawan yang ingin menyaksikan event besar ini, cukup menempuh perjalanan sekitar tiga setengah jam dari Kota Pekanbaru. Alernatif lain untuk menuju lokasi acara pesta rakyat ini adalah menggunakan transportasi umum yang tersedia dari Kota Pekanbaru menuju Kota Kuantan Singingi. Namun, karena belum tersedia angkutan dalam kota di Kabupaten Kuantan Singingi, pengujung disarankan untuk menggunakan jasa ojek dan mobil pick up menuju lokasi pertunjukan
Festival Pacu Jalur salah satu tujuan Wisata Riau yang masuk agenda Kalender Wisata Nasional, bahkan dijual untuk pariwisata internasional dalam Visit Indoensia Year 2008 serta Visit Riau 2009.

Pacu Jalur adalah perlombaan tradisional Kabupaten Kuantan Sengingi. Nama “Pacu Jalur” merupakan sebutan dari sampan panjang dengan nama Jalur yang digunakan untuk berpacu atau berlomba. Untuk tahun ini sudah dimulai sejak Rabu (20/8) lalu dan bekahir pada Minggu 24 Agustus.
Satu Jalur terdiri 50-an orang, dan mereka mendayung semua, kecuali dua orang yaitu satu anak kecil diujung depan sampan yang terkadang berdiri dan menari-menari mengikut irama dayung dan satu lagi berdiri seperti Pawang. Dia berperan sebagai pemberi irama dayung, sang Pawang bukan orang sembarangan karena tugasnya tidak mudah dalam bersinergi dengan lajunya Jalur karena perlombaan Pacu Jalur ini sangat sarat dengan nilai Magis.
Mereka berpacu di Sungai Kuantan yang dikenal dengan nama Batang Kuantan. Lintasan pacu kurang lebih 2 km. Aba-aba start, dengan meriam bambu, dimulai apabila ujung depan semua jalur sudah benar-benar pada satu garis lurus, memang tidak mudah melihat arus sungai yang tidak tenang.
Nah setelah melewati garis finish, semua peserta Pacu Jalur berputar balik dan menjalankan jalurnya lebih pelan ketika melewati Tribun VIP. Untuk final tahun 2008 yang mengisi tribun VIP Pacu Jalur adalah Sukarmis, Bupati Kuantan Sengingi saat ini. Hadiah untuk para juaranya lomba Pacu Jalur ini biasanya adalah berupa sapi atau kerbau yang jumlahnya bisa 7 ekor per jalur.